
Nyai Ahmad Dahlan : Sang Pelopor

Taken from : www.ruangmuslim.com
Kategori : Muslim Prestatif
Di Tulis Oleh : Nida Arifin
Foto : Pahlawan Nasional (Google image)
Tak
banyak dokumen sejarah yang mencatat seorang ulama perempuan bernama
Siti Walidah. Namun setelah menjadi “Nyai Ahmad Dahlan”, nama isteri KH
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah itu mulai dikenal luas sebagai
seorang ulama dan tokoh perempuan. Bahkan ia disebut sebagai tokoh
gerakan perempuan Muslim Indonesia. Melalui aktivitasnya di
Muhammadiyah dan Aisyiah, Nyai Dahlan berhasil membuktikan bahwa spirit
Islam mampu mendorong kemajuan kaum wanita.
Puteri Kiai Muhammad Fadli, Penghulu Keraton Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Yogyakarta) ini lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1872. Sebagai anak seorang ulama yang disegani masyarakat, ia menjadi ‘puteri pingitan’, sehingga pergaulannya sangat terbatas. Namun atas didikan Sang Ayah, ia sangat tekun mendalami ilmu Al-Qur’an dan ilmu agama lainnya. Hampir setiap hari, sebagaimana umumnya penduduk Kampung Kauman, Siti Walidah belajar al-Quran dan kitab-kitab Islam berbahasa Arab Jawa (Pegon)
Dahaga
ilmu agamanya seolah terpuaskan setelah ia dinikahi KH. Ahmad Dahlan,
sepupunya sendiri. Ie mengikuti segala hal yang diajarkan suaminya itu.
Bahkan, ia mengikuti jejak Ahmad Dahlan menggerakkan Muhammadiyah,
yang menambah ilmu, pengalaman, dan amal baktinya.
Meskipun
hanya mengenyam pendidikan dari lingkungan keluarga, Nyai Ahmad Dahlan
memiliki pandangan yang luas. Hal itu diperoleh dari pergaulannya
dengan para tokoh, baik Muhammadiyah maupun pemimpin bangsa lainnya,
yang kebanyakan teman seperjuangan suaminya. Sebut saja Jenderal
Sudirman, Bung Tomo, Kiai Haji Mas Mansyur, dan lainnya. Ia tidak
merasa rendah diri terhadap mereka, bahkan pada berbagai kesempatan, ia
selalu sampaikan nasihat-nasihat yang sangat bernilai.
Keterlibatannya dengan Muhammadiyah dimulai saat ia turut merintis kelompok pengajian sopo tresno, yang
artinya ‘siapa cinta’, tahun 1914. Kelompok ini belum menjadi suatu
organisasi, hanya suatu gerakan kelompok pengajian karena belum memiliki
anggaran dasar dan peraturan organisasi.
Kegiatan
kelompok itu berupa pengkajian agama, yang disampaikan secara
bergantian oleh Kiai Dahlam dan Nyai Dahlan. Dalam pengajian itu,
diterangkan ayat-ayat AL-Qur’an dan Hadits yang mengupas hak-hak dan
kewajiban perempuan. Harapan Nyai Dahlan, kegiatan seperti itu akan
melahirkan kesadaran kaum wanita tentang kewajibannya sebagai manusia,
isteri, hamba Allah, dan warga Negara.
Dalam
suatu pertemuan di rumah Nyai Dahlan, yang dihadiri Kiai Ahmad Dahlan,
Ki Bagus Hadikusuma, KH Fakhrussin, dan pengurus Muhammadiyah lainnua,
timbul pemikiran untuk merubah ‘Sopo Tresno’ menjadi organisasi wanita
Islam yang mapan. Semula “Fatimah” diusulkan sebagai nama organisasi
itu, namun para tokoh yang hadir tidak sepakat. Kemudian Haji
Fakhruddin mencetuskan nama “Aisyiyah” dan semua menyetujui.
Maka
pada 22 April 1917, organisasi itu diresmikan. Bertepatan dengan
peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang pertama kali diadakan
Muhammadiyah secara meriah. Siti BAriyah tampil sebagai ketua
organisasi muda itu, kemudian pada 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian
dari Muhammadiyah.
Memimpin Kongres
Tak
gampang membesarkan organisasi wanita pada zaman itu. Nyai Dahlan dan
pengurus Aisyiyah berjuang membuang kepercayaan kolot masyarakat. Tak
putus asa ia ‘pasang badan’ menerima cacian atas sepak terjangnya yang
dianggap melanggar kesusilaan wanita. Maklumlah, ia menanamkan ide baru
bahwa wanita bisa berdaya dan sepadan perannya dengan laki-laki.
Nyai
Dahlan memilih mengajari masyarakat dengan karya nyata. Ia membuka
asrama dan sekolah-sekolah puteri, serta mengadakan kursus-kursus
pelajaran Islam, serta pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan.
Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim
perempuan, serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita.
Bersama-sama
mengurus Aisyiah, ia sering mengadakan perjalanan ke luar daerah
hingga ke pelosok desa, untuk menyebarluaskan ide-idenya. Karena itu,
meski tidak duduk dalam kepengurusan Aisyiyah, organisasi itu
menganggap Nyai Dahlan sebagai “Ibu Aisyiah” atau “Ibu Muhammadiyah”.
Tahun 1926, saat kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Nyai Dahlan
membuat catatan sejarah, dialah wanita pertama yang tampil memimpin
kongres tersebut. Saat itu, dalam siding ‘Aisyiyah yang dipandunga,
duduk puluhan pria di samping mimbar. Mereka adalah wakil pemerintah,
perwakilan organisasi yang belum mempunyai bagian kewanitan. Seluruh
pembicara dalam siding itu adalah kaum perempuan. Tentu ini adalah hal
yang tidak lumrah pada masanya.
31
Mei 1946, ajal menjemput Nyai Ahmad Dahlan. Ia dimakamkan di pemakaman
belakang Masjid Kauman Yogyakarta. Menteri Sekretaris Negara kala itu,
Mr. AG Pringgodigdo mewakili pemerintah memberikan penghormatan
terakhir. Atas jasa-jasanya, pada hari pahlawan 10 November 1971 di
Istana Presiden Jakarta, secara resmi presiden menyerahkan SK pengukuhan
Nyai pejuang ini sebagai pahlawan nasional
Sekilas Tentang Asrama Puteri
Tahun 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang dikenal juga sebagai volk school Muhammadiyah.
Pada 1918, madrasah pertama milik Muhammadiyah ini mendapat perhatian
dari pemerintah kesultanan Yogyakarta, dan diberi hadiah sebidang
tanah. Di atas sebidang tanah itulah kemudian dibangun enam lokal
gedung sekolah.
Volk school kemudian
dikembangkan menjadi dua sekolah, bagian khusus laki-laki dan bagian
khusus perempuan. Di masa-masa itulah Nyai Ahmad Dahlan mencetuskan ide
untuk mendirikan asrama puteri. Menurutnya, untuk menyempurnakan
pendidikan bagi kaum wanita, perlu diadakan pendidikan non-formal atau
pondok. Karena waktu itu yang ada hanya asrama putera, Nyai dahlan
berinisiatif mendirikan asrama puteri di samping rumahnya. Asrama itu
diharapkan dapat menampung para wanita yang akan dididik pengetahuan
keislaman dan segala hal yang menyangkut keputrian.
Awalnya,
hanya anak-anak dari kampung Kauman yang mau tinggal di sana.
Belakangan, para santriwati dari wilayah Yogyakarta dan sekitarnya
tertarik untuk nyantri di
asrama tersebut. Bahkan setelah Muhammadiyah berkembang di Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Jawa Barat, banyak anak daerah dikirim ke Yogyakarta
dan tinggal di rumah Nyai Dahlan.
Di
asrama tersebut Nyai Dahlan memberikan pendidikan keimanan dan praktik
ibadah, shalat berjamaah, shalat rawatib, hingga latihan pidato untuk
mereka bertabligh. Pendidikan bermasyarakat juga diajarkannya. Ia
berharap alumni pesantrennya dapat berkiprah di tengah masyarakat.
Caranya, Nyai Dahlan biasa mengajak santrinya berjalan-jalan seusai
shalat shubuh. Pada kesempatan itu ia bawa mereka melihat langsung, dan
dekat dengan kehidupan masyarakat, tentunya sambil juga berolahraga.
Sementara para santri seniornya diajak tabligh ke luar kota.
_____
tulisan ini dimuat di Majalah Gontor Edisi Juli, 2008 dengan judul asli 'Nyai Ahmad Dahlan : Pelopor Gerakan Dakwah Perempuan'
gambar : foto-foto pahlawan nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar