Sejarah Singkil sangat menarik untuk
dikaji, baik dari segi sejarah, sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Hal itu disebabkan kota tersebut pernah mengalami kejayaan, terutama di
bidang ekonomi sekitar abad ke-18 ketika Kota Singkil menjadi Banda
(pelabuhan) di bagian pantai selatan Aceh dan sekaligus menjadi kota
perdagangan. Pada saat itu segala perdagangan lada yang akan diekspor
ke Amerika Serikat harus melalui Kota Singkil (A.Doup, 1899). Bahkan
kota tersebut menjadi daya tarik penduduk daerah lain sebagai tempat
untuk bekerja. Pada saat itu memang ada istilah bagi penduduk di Aceh
yang mengatakan pergi ke rantau barat yang berarti pergi ke pantai
selatan Aceh untuk mencari nafkah dan sekaligus bertanam lada (C.
Snouck Hurgronje, 1906). Daerah Trumon merupakan salah satu daerah
penghasil lada di Pantai Barat yang saat itu berada di wilayah Singkil
(G.A. Fokker, 1935 dan J.Siegner, 1940).
Menentukan kapan kota Singkil dibangun
pertama kali tentunya merupakan pekerjaan yang sangat sulit apabila
menentukan tanggal, bulan atau tahun. Pendekatan yang digunakan paling
maksimal kemungkinan hanya dapat memperkirakan pada abad keberapa
sebenarnya kota Singkil dibangun. Keterbatasan ini kiranya berkaitan
dengan bukti sejarah dan empiris yang ada saat ini yang tidak dapat
mendukung secara maksimal dalam menentukan kapan kota tersebut
sebenarnya mulai dibangun. Oleh karena itu, berbagai pendekatan yang
sifatnya tidak langsung, terutama melalui pendekatan sejarah mutlak
harus dilakukan dan kemudian dilanjutkan dengan pendekatan empiris
melalui sebuah penelitian yang komprehensif dan melibatkan berbagai
pakar, terutama dalam bidang Arkeologi dan Paleantropologi. Seperti
diketahui bahwa Syekh Abdurrauf Al Singkili lahir pada pertengan abad
ke –17 (1616-1693) (Liaw Yock Fang, 1993). Apabila dikaitkan dengan
kelahirannya secara tidak langsung menunjukkan bahwa kemungkinan Kota
Singkil telah dibangun pada abad tersebut. Hal ini mengingat bahwa
Abdurrauf Al Singkili lahir di kota tersebut.
Catatan-catatan asing yang tertua
mengenai Singkil masih sedikit didapatkan, kecuali Barus dan Fansur
(walaupun dahulunya Singkil juga termasuk wilayah Fansur) yang memang
sudah banyak dikenal karena hasil alamnya yaitu kapur barus. Baru
setelah abad ke-9 M, di samping Barus dan Fanshur sudah mulai banyak
catatan, terutama dari pelawat Islam tentang Niyan (Nias). Buzurg ibn
Shahriyar Ramhurnuz (850 M) dalam bukunya Akhbar al Sin wal Hind,
menyebutkan bahwa ”penduduk yang ada di sekitar Barus masih primitif.
Kalau ada kapal yang karam di laut dekat Fanshur, para pelawat asing
tersebut berusaha mencapai Lamuri, karena di sana ada teman sebangsanya
dan untuk dapat memudahkan pulang ke negerinya dengan menumpang
kapal.”
Agresi Belanda ke Singkil melalui Perang
Batu-Batu, menyebabkan wilayah singkil berada dalam sistem
pemerintahan langsung (Gubernemen Gebied) seperti halnya Aceh Besar,
sebagai daerah yang berhasil dikuasai oleh Belanda melalui perang.
Belanda kemudian mendirikan pemerintahan di Singkil, dan antara tahun
1903-1908 Landschap Trumon termasuk dalam kekuasaan onderafdeling
Singkil.
Apabila ditinjau perkembangan ekonomi
Kota Singkil pada abad ke-18 ternyata cukup maju sebagai kota
perdagangan. Dijelaskan bahwa nilai ekspor barang dikirim melalui
pelabuhan Singkil pada tahun 1851 mencapai 300.000 Gulden.
Barang-barang yang paling bernilai diekspor melalui pelabuhan Kota
Singkil adalah lada. Hasil bumi lainnya yang berasal dari wilayah
Singkil yang di ekspor melalui pelabuhan Singkil adalah minyak nilam,
damar, karet, gambir, kelapa, rotan dan kapur barus.
Perkembangan kota Singkil selanjutnya bagaikan sebuah drama yang meninggalkan sebuah tragedi yang memilukan. Pada saat kota tersebut mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat tiba-tiba pada tanggal 12 Februari 1861, kota Singkil hancur karena dilanda gempa bumi (tektonik) dan gelombang laut yang sangat dahsyat (E.B. Kielstra, 1892). Daerah lain di pantai barat Aceh yang dilanda gempa bumi tersebut adalah sebagian dari wilayah Aceh Selatan, seperti Meukek, Susoh, dan Kuala Batee. Gempa bumi tersebut telah mengakibatkan hancurnya hampir semua infrastruktur yang dibangun pemerintah Belanda sebelum tahun 1852 dan juga telah menghancurkan perkebunan lada penduduk tidak hanya di Singkil, melainkan juga di daerah lain di pantai barat Aceh.
Perkembangan kota Singkil selanjutnya bagaikan sebuah drama yang meninggalkan sebuah tragedi yang memilukan. Pada saat kota tersebut mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat tiba-tiba pada tanggal 12 Februari 1861, kota Singkil hancur karena dilanda gempa bumi (tektonik) dan gelombang laut yang sangat dahsyat (E.B. Kielstra, 1892). Daerah lain di pantai barat Aceh yang dilanda gempa bumi tersebut adalah sebagian dari wilayah Aceh Selatan, seperti Meukek, Susoh, dan Kuala Batee. Gempa bumi tersebut telah mengakibatkan hancurnya hampir semua infrastruktur yang dibangun pemerintah Belanda sebelum tahun 1852 dan juga telah menghancurkan perkebunan lada penduduk tidak hanya di Singkil, melainkan juga di daerah lain di pantai barat Aceh.
Secara administrasi kota Singkil
mempunyai 4 desa, yaitu desa Kilangan, Ujung, pasar, dan desa Pulau
Sarok. Pada tahun 1905 penduduk Kota Singkil berjumlah 1.665 orang,
namun pada tahun 1930 jumlah penduduk berjumlah 5 kali lipat, menjadi
3.301 orang (W.K.H. Ypes,1907 :284 dan J.Pauw, 1935 : 75). Meningkatnya
jumlah penduduk tersebut berkaitan erat dengan status kota Singkil
sebagai pusat administrasi dan perdagangan, sehingga merupakan faktor
penarik bagi penduduk daerah lain untuk bermigrasi ke daerah tersebut.
Selain berfungsi sebagai pusat administrasi, kota Singkil juga berfungsi sebagai pusat perdagangan. Setelah pindah ke kota Singkil Baru, Singkil kembali menemukan kejayaannya sebagai kota perdagangan yang cukup dikenal di pantai selatan Aceh. Kota Singkil merupakan tempat transit barang-barang yang akan diperdagangkan, terutama barang-barang yang berasal dari Alas, Dairi, Simeulue, dan Pulau Banyak, demikian pula sebaliknya (G.A. Fokker, 1936). Pada zaman Belanda, kota Singkil secara teratur dalam dua minggu sekali disinggahi oleh kapal KPM. (J.J. van de Velde, 1987).
Selain berfungsi sebagai pusat administrasi, kota Singkil juga berfungsi sebagai pusat perdagangan. Setelah pindah ke kota Singkil Baru, Singkil kembali menemukan kejayaannya sebagai kota perdagangan yang cukup dikenal di pantai selatan Aceh. Kota Singkil merupakan tempat transit barang-barang yang akan diperdagangkan, terutama barang-barang yang berasal dari Alas, Dairi, Simeulue, dan Pulau Banyak, demikian pula sebaliknya (G.A. Fokker, 1936). Pada zaman Belanda, kota Singkil secara teratur dalam dua minggu sekali disinggahi oleh kapal KPM. (J.J. van de Velde, 1987).
Salah satu peninggalan yang cukup penting
dan merupakan bukti bahwa kota Singkil merupakan kota perdagangan
dapat dilihat dari bentuk rumahnya. Sebagian besar bangunan rumah
bertingkat dua, sebelumnya rumah-rumah tersebut berfungsi sebagai
tempat berjualan dan tempat tinggal. Pada bagian bawah biasanya
digunakan sebagai tempat berjualan, sedangkan di bagian atas berfungsi
sebagai tempat tinggal. (Kompas, 1991). Pada saat ini kebanyakan rumah
tersebut berfungsi sebagai tempat tinggal dan hanya sebagian kecil dari
penduduk yang menggunakan sebagai tempat berjualan.
Menurut legenda atau cerita orang
tua-tua, bahwa asal-usul Singkil itu dari tiga tempat yaitu Kampung
Gelombang di alur Lae Souraya Simpang Kiri adalah daerah yang pertama
sekali terhempas oleh gelombang pasang naik, dan sebagai muaranya
adalah Kuala Kapeng. Akibat erosi sungai, lama-kelamaan menimbulkan
tanah yang muncul ke permukaan sehingga sungai menjadi dangkal dan
beralih ke daerah lain. Akibat erosi sungai tersebut muncul daerah Paya
Bumbung, Rantau Gedang, Teluk Ambon, Kuala Baru. Kampung Singkil Lama,
menurut cerita sudah tenggelam. Daerah itu dahulu terletak di depan
daerah Kilangan yang bernama Pasir Tangah. Menurut cerita, sekitar
tahun 1890 pada hari Jumat terjadi amukan Lautan Hindia (Lautan
Indonesia), air laut mengadakan pergeseran yang begitu cepat dengan
membawa arus gelombang yang membersihkan pantai pelabuhan Singkil,
sehingga hilang dari permukaan. Sebagian dari mereka dapat menyelamatkan
diri dan pindah ke daerah Singkil sekarang, yang disebut daerah
Singkil Baru, oleh Belanda menamakannya dengan Niew Singkil. Dari tiga
daerah itulah disebutkan asal wilayah Singkil. Wilayah Pasir Tangah
manakala air surut dapat kelihatan batu-batuan bekas rumah. Daerah ini
menjadi lautan yang berbahaya bagi para nelayan, yang disebut Ujung
Singkil.
Cerita lain menyebutkan, bahwa Singkil
pada mulanya terletak di daerah yang telah mempunyai bahasa sendiri
sehingga disebut Singkel, yang berasal dari kata Sikkel (suka, senang
atau ingin), yang kemudian berubah menjadi Singkel. Hal ini terjadi
dari asimilasi para pedagang Timur Tengah dengan suku Hindia, dan
penduduk asli, sehingga muncul suatu kebudayaan tersendiri. Asal kata
Singkil juga disebutkan bahwa pada zaman perdagangan dengan perahu
layar dahulu, ketika terjadi angin ribut dan badai, maka para awak
perahu tersebut menyingkir mencari tempat perlindungan dengan memasuki
teluk-teluk yang ada di sekitarnya. Disebabkan kebiasaan menyingkir
itu, maka lama-kelamaan menjadi Singkil, yang maksudnya menyingkir.
Nama Singkil mulai banyak terdapat dalam
catatan asing sekitar abad ke-16 M, bahkan seorang ulama yang
terkenal di Aceh dan juga Nusantara yaitu Syaikh Abdurrauf Syiah Kuala
juga berasal dari Singkil. Seorang pencatat bangsa Portugis terkenal
bernama Tome Pires, menulis buku laporan mengenai Nusantara dari tempat
tinggalnya di Malaka antara tahun 1512-1515 M. Ia menulis mengenai
pantai barat Sumatera, seperti Andalor (Andalas), Tiquo (Tiku),
Pariaman, Minhac Barras (Nias) serta Baruus (Barus), juga untuk pertama
kalinya menyinggung tentang kerajaan Chinquelle atau Quinchell
(Singkil). Tome Pires menyebutkan bahwa Kerajaan Singkil berbatasan
dengan Kerajaan Barus, di sebelah utara berbatasan dengan Kerajaan
Mancopa atau Daya, Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya), sedangkan
penduduknya yang di pedalaman bersifat kanibal. Raja Singkil pada waktu
itu belum beragama. Di wilayah kerajaan Singkil ini banyak menghasilkan
damar, sutera, lada, emas. Mempunyai perahu yang laju dan ada
sungai-sungai. Kerajaan Singkil itu melakukan hubungan dagang dengan
Pasai, Barus, Tiku dan Pariaman. Penduduk yang tinggal di pedalaman
memakan daging manusia dari musuh-musuh mereka yang tertangkap. Menurut
Veth (1873) nama Sinckel juga sudah mulai ada dalam peta Petrus
Plancius pada tahun 1592 M.
Tom Pires juga menyebutkan bahwa Singkil
dibagi dalam dua kerajaan, yaitu Singkil Hulu dan Singkil Hilir. Dalam
Kerajaan Singkil Hulu terdapat sekitar sebelas kerajaan kecil di
kawasan Simpang Kanan, dan sepuluh kerajaan kecil di kawasan Simpang
Kiri. Sedangkan kerajaan-kerajaan Singkil Hilir termasuk Pulau Banyak
dibagi dalam tujuh daerah kerajaan.
Secara administratif pemerintah kolonial Belanda membagi keresidenan Aceh menjadi dua wilayah yang mereka sebut rechtreeks bestuur gebied daerah yang diperoleh oleh Belanda melalui perang. Kepala pemerintahan disebut districthoofd dan daerah taklukan atau zelfbestuur gebied, juga disebut landschap (swapraja), yang dikepalai oleh zelfbestuurder. Onderafdeling Singkil pada waktu itu termasuk dalam Onderafdeling Zuidelijk Atjeh Landschappen, yang terdiri atas distrik Singkil, Simpang Kanan, Simpang Kiri, dan Onderafdeling Banyak Einlanden (Pulau Banyak). Distrik Hoofd Singkil adalah Datuk A. Murad, Simpang Kanan oleh T. Raja Hidayo, Simpang Kiri oleh Ruhum, dan Onder District Pulau Banyak oleh Raja Alamsyah. Controleur onderafdeling Singkil pernah dipegang oleh A.J. Piekaar.
Secara administratif pemerintah kolonial Belanda membagi keresidenan Aceh menjadi dua wilayah yang mereka sebut rechtreeks bestuur gebied daerah yang diperoleh oleh Belanda melalui perang. Kepala pemerintahan disebut districthoofd dan daerah taklukan atau zelfbestuur gebied, juga disebut landschap (swapraja), yang dikepalai oleh zelfbestuurder. Onderafdeling Singkil pada waktu itu termasuk dalam Onderafdeling Zuidelijk Atjeh Landschappen, yang terdiri atas distrik Singkil, Simpang Kanan, Simpang Kiri, dan Onderafdeling Banyak Einlanden (Pulau Banyak). Distrik Hoofd Singkil adalah Datuk A. Murad, Simpang Kanan oleh T. Raja Hidayo, Simpang Kiri oleh Ruhum, dan Onder District Pulau Banyak oleh Raja Alamsyah. Controleur onderafdeling Singkil pernah dipegang oleh A.J. Piekaar.
Pada tahun 1861 hingga 1907, untuk lebih
mudah pengawasan, maka Pemerintah Hindia Belanda atas permintaan
komandan tentara Belanda di Kutaraja menugasi Pootman sebagai residen
yang sekaligus diperbantukan kepada tentara KNIL, memegang pemerintahan
militer selama pemerintahan sipil belum terbentuk, dan memutuskan
bahwa wilayah Singkil tunduk kepada Gubernur Sipil dan Militer Aceh
yang berkedudukan di Kutaraja. Hal tersebut ditetapkan pada tahun 1905
dengan Stbl. No. 440.
Controleur J.C. Tigelman sesuai dengan laporan terakhirnya pada tanggal 15 Nopember 1941, bahwa wilayah Singgkil terdiri atas 4 jabatan districthoofd dan 16 onderdistricthoofd, yaitu: District Benaden Singkil terdiri atas Onderdistrict Benaden Singkil adalah Datuk A. Murad, Onderdistrict Rantau Gadang, Onderdistrict Teluk Ambon, dan Onderdistrict Paya Bumbung oleh Raja Maholi. Distrik Simpang Kanan terdiri atas Onderdistrict Tanjung Mas oleh Datuk Bambon, Onderdistrict Belegen, Onderdistrict Kombih oleh Datuk Ruhum, Onderdistrict Kota Baru oleh Raja Baharu, Onderdistrict Tualang oleh Raja Gontar, Onderdistrict Longkip oleh Raja Kuta, Onderdistrict Pasir Belo oleh Raja Yusuf, serta Onderdistrict Batu-Batu oleh Raja Kamaruddin. District Banyak Einlanden oleh Sutan Umar, terdiri dari Onderdistrict Pulau Tuanku oleh Datuk Somik dan Onderdistrict Pulau Delapan oleh Datuk Badiaga.
Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”Controleur J.C. Tigelman sesuai dengan laporan terakhirnya pada tanggal 15 Nopember 1941, bahwa wilayah Singgkil terdiri atas 4 jabatan districthoofd dan 16 onderdistricthoofd, yaitu: District Benaden Singkil terdiri atas Onderdistrict Benaden Singkil adalah Datuk A. Murad, Onderdistrict Rantau Gadang, Onderdistrict Teluk Ambon, dan Onderdistrict Paya Bumbung oleh Raja Maholi. Distrik Simpang Kanan terdiri atas Onderdistrict Tanjung Mas oleh Datuk Bambon, Onderdistrict Belegen, Onderdistrict Kombih oleh Datuk Ruhum, Onderdistrict Kota Baru oleh Raja Baharu, Onderdistrict Tualang oleh Raja Gontar, Onderdistrict Longkip oleh Raja Kuta, Onderdistrict Pasir Belo oleh Raja Yusuf, serta Onderdistrict Batu-Batu oleh Raja Kamaruddin. District Banyak Einlanden oleh Sutan Umar, terdiri dari Onderdistrict Pulau Tuanku oleh Datuk Somik dan Onderdistrict Pulau Delapan oleh Datuk Badiaga.
http://acehsingkil.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar