Kerajaan Aceh merasa terusik jika
Belanda melebarkan sayap kekuasaannya di Sumatera, khususnya di
daerah-daerah yang menjadi daerah taklukan Aceh, seperi di Sumatera
Timur dan Sepanjang Pantai Barat Sumatera hingga ke Padang. Untuk
mehambat arus ekspansi Belanda di Sumatera, Kerajaan Aceh berusaha
melemahkan armada dagang Belanda. Cara-cara yang ditempuh yaitu dengan
membiarkan para bajak laut melakukan perompakan dan perampasan
kapal-kapal dagang Belanda yang lalu-lalang di Selat Malaka dan
peraiaran pantai barat Aceh. Di samping itu, Kerajaan Aceh juga
melakukan pengiriman armada perang dan Angkatan Lautnya yang dipimpin
oleh Sidi Vara ke Pulau Poncan. Kapal-kapal perang yang dipersenjatai
oleh Kerajaan Trumon tersebut diperintahkan untuk menyusup ke benteng
Belanda di Fort Tapanuli. Mereka ditugaskan untuk menghancurkan
persediaan senjata dan peralatan perang milik Belanda yang disimpan di
gudang-gudang amunisi di benteng Poncan tersebut.
Penyerbuan kapal-kapal perang Aceh tersebut, kemudian mengilhami Belanda untuk menahan diri. Untuk mempertahankan diri dari Angkatan Laut Aceh, mereka membangun daerah barrier (daerah penyangga) antara wilayah kerajaan dengan wilayah kekuasaan Belanda. Selanjutnya untuk dapat mengembangkan daerah jajahannya pada tahun 1839, Belanda menempatkan satu skwadron kapal perang di Kerajaan Barus. Dan satu tahun kemudian (1840), Belanda juga menempatkan beberapa kapal perangnya di Singkil. Di samping itu melalui Residen Padang Mc Gillary, Belanda membuat perjanjian perdamaian dengan Kerajaan Trumon.
Tindakan Belanda tersebut membuat
Sultan Ibrahim Mansursyah dari Kerajaan Aceh merasa dirugikan. Untuk
menghadapinya, ia meminta bantuan pada Raja Louis Phillipe dari
Perancis agar dapat menghentikan tindakan Belanda yang memperluas
daerah kekuasaan di Pantai Barat Sumatera. Sebagai tindak lanjut dari
permintaan Sultan Aceh tersebut, pada tahun 1843 Pemerintah Perancis
mengirim armada kapal perang La Fortune yang dipimpin langsung oleh La
Comte. Kedatangan kapal perang Perancis tersebut hanya untuk
melindungi Kesultanan Aceh dari tekanan Belanda. Adapun kawasan
Singkil dan daerah-daerah bekas wilayah kekuasaan Aceh yang lain tetap
dibiarkan sebagai daerah perdikan (daerah yang berdiri sendiri).
Kekuasaan yang dilakukan VOC (Kompeni)
Belanda di daerah-daerah Singkil belum dapat dinamakan penyelenggaraan
pemerintahan umum. Kekuasaannya terutama terbatas pada penuntutan
penyerahan wajib dari penguasa-penguasa daerah Singkil, mengangkat
pegawai-pegawai ini dan itu serta mengawasi mereka dalam melakukan
kewajiban-kewajibannya terhadap VOC (kompeni) Belanda.
Pengaruh kumpeni tidak terbatas pada wilayah daratan Singkil saja, tetapi juga menguasai wilayah lautan. Kompeni Belanda juga menguasai dan memonopoli seluruh hasil bumi yang diproduksi di daerah Singkil. Walaupun demikian, pengaruh kumpeni tidak boleh dilebih-lebihkan. Tradisi dagang penduduk Singkil tetap hidup, walaupun ada monopoli pelayaran dan perdagangan. Pengawasan di laut yang teliti sekali untuk melindungi monopoli kumpeni tak mungkin dilakukan, karena adanya tempat bersauh yang jumlahnya cukup banyak dan luas. Apa yang disebut dengan perdagangan gelap tetap berlangsung, terutama di daerah-daerah yang tidak terawasi.
Pengaruh kumpeni tidak terbatas pada wilayah daratan Singkil saja, tetapi juga menguasai wilayah lautan. Kompeni Belanda juga menguasai dan memonopoli seluruh hasil bumi yang diproduksi di daerah Singkil. Walaupun demikian, pengaruh kumpeni tidak boleh dilebih-lebihkan. Tradisi dagang penduduk Singkil tetap hidup, walaupun ada monopoli pelayaran dan perdagangan. Pengawasan di laut yang teliti sekali untuk melindungi monopoli kumpeni tak mungkin dilakukan, karena adanya tempat bersauh yang jumlahnya cukup banyak dan luas. Apa yang disebut dengan perdagangan gelap tetap berlangsung, terutama di daerah-daerah yang tidak terawasi.
Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar