a

PENGUMUMAN ►►DAFTAR NAMA-NAMA SISWA YANG LULUS UJIAN SEMESTER MATA PELAJARAN MATEMATIKA. NILAI AKHIR KELAS IX : NABILA ARIFA ZAHRA 100, MUHAMMAD YUMASHURI 90, DAYU ISRAKY NASUTION 90, SAID SADAM FIRDAUS 90, FARIS AL-KAUSAR 85, RAFI IRAWAN 75 *********** NILAI AKHIR KELAS VIII : NADIA FITRIANDA MUZNI 82,5 NOVIA SARI 65 *********** NILAI AKHIR KELAS VII : SUTRIA BUNGA MAULIDA 70, MUHD. GHAZY AL-ZUHDI SYAHRA 65 :!!!

Sabtu, 18 Februari 2012

Sejarah Singkil (6)


Kerajaan Aceh merasa terusik jika Belanda melebarkan sayap kekuasaannya di Sumatera, khususnya di daerah-daerah yang menjadi daerah taklukan Aceh, seperi di Sumatera Timur dan Sepanjang Pantai Barat Sumatera hingga ke Padang. Untuk mehambat arus ekspansi Belanda di Sumatera, Kerajaan Aceh berusaha melemahkan armada dagang Belanda. Cara-cara yang ditempuh yaitu dengan membiarkan para bajak laut melakukan perompakan dan perampasan kapal-kapal dagang Belanda yang lalu-lalang di Selat Malaka dan peraiaran pantai barat Aceh. Di samping itu, Kerajaan Aceh juga melakukan pengiriman armada perang dan Angkatan Lautnya yang dipimpin oleh Sidi Vara ke Pulau Poncan. Kapal-kapal perang yang dipersenjatai oleh Kerajaan Trumon tersebut diperintahkan untuk menyusup ke benteng Belanda di Fort Tapanuli. Mereka ditugaskan untuk menghancurkan persediaan senjata dan peralatan perang milik Belanda yang disimpan di gudang-gudang amunisi di benteng Poncan tersebut.

Penyerbuan kapal-kapal perang Aceh tersebut, kemudian mengilhami Belanda untuk menahan diri. Untuk mempertahankan diri dari Angkatan Laut Aceh, mereka membangun daerah barrier (daerah penyangga) antara wilayah kerajaan dengan wilayah kekuasaan Belanda. Selanjutnya untuk dapat mengembangkan daerah jajahannya pada tahun 1839, Belanda menempatkan satu skwadron kapal perang di Kerajaan Barus. Dan satu tahun kemudian (1840), Belanda juga menempatkan beberapa kapal perangnya di Singkil. Di samping itu melalui Residen Padang Mc Gillary, Belanda membuat perjanjian perdamaian dengan Kerajaan Trumon.
Tindakan Belanda tersebut membuat Sultan Ibrahim Mansursyah dari Kerajaan Aceh merasa dirugikan. Untuk menghadapinya, ia meminta bantuan pada Raja Louis Phillipe dari Perancis agar dapat menghentikan tindakan Belanda yang memperluas daerah kekuasaan di Pantai Barat Sumatera. Sebagai tindak lanjut dari permintaan Sultan Aceh tersebut, pada tahun 1843 Pemerintah Perancis mengirim armada kapal perang La Fortune yang dipimpin langsung oleh La Comte. Kedatangan kapal perang Perancis tersebut hanya untuk melindungi Kesultanan Aceh dari tekanan Belanda. Adapun kawasan Singkil dan daerah-daerah bekas wilayah kekuasaan Aceh yang lain tetap dibiarkan sebagai daerah perdikan (daerah yang berdiri sendiri).
Kekuasaan yang dilakukan VOC (Kompeni) Belanda di daerah-daerah Singkil belum dapat dinamakan penyelenggaraan pemerintahan umum. Kekuasaannya terutama terbatas pada penuntutan penyerahan wajib dari penguasa-penguasa daerah Singkil, mengangkat pegawai-pegawai ini dan itu serta mengawasi mereka dalam melakukan kewajiban-kewajibannya terhadap VOC (kompeni) Belanda.
Pengaruh kumpeni tidak terbatas pada wilayah daratan Singkil saja, tetapi juga menguasai wilayah lautan. Kompeni Belanda juga menguasai dan memonopoli seluruh hasil bumi yang diproduksi di daerah Singkil. Walaupun demikian, pengaruh kumpeni tidak boleh dilebih-lebihkan. Tradisi dagang penduduk Singkil tetap hidup, walaupun ada monopoli pelayaran dan perdagangan. Pengawasan di laut yang teliti sekali untuk melindungi monopoli kumpeni tak mungkin dilakukan, karena adanya tempat bersauh yang jumlahnya cukup banyak dan luas. Apa yang disebut dengan perdagangan gelap tetap berlangsung, terutama di daerah-daerah yang tidak terawasi.
Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar