Memasuki abad XVIII, perdagangan di
kawasan Asia Tenggara semakin ramai dikunjungi kapal-kapal dari Eropa
dan Amerika. Hal tersebut juga berpengaruh di wilayah Singkil. Tidak
hanya kapal-kapal dagang Belanda saja yang mengangkut hasil bumi dari
singkil, tetapi juga datang kapal-kapal dagang dari Inggris dan
Amerika. Hal ini menyebabkan rakyat Singkil tidak lagi loyall kepada
Belanda yang telah memeras dan menindas selama hampir tiga puluh tahun
lamanya. Kehadiran kapal-kapal dagang Inggris dan Amerika dianggap
sebagai penyelamat perekonomian rakyat singkil karena hasil-hasil bumi
mereka dapat dijual bebas kepada mereka.
Lebih-lebih setelah kedua negara (Amerika dan Inggris) tersebut menumbuhkan iklim perdagangan bebas, maka keuntungan rakyat Singkil dalam penjualan hasil bumi semakin meningkat. Hal ini sangat berbeda dengan Belanda yang menerapkan sistem monopoli yang sangat merugikan rakyat. Kehadiran kapal-kapal dagang dari kedua negara tersebut menyebabkan kedudukan Belanda di Singkil terancam dan makin lama semakin terdesak.
Perebutan hasil bumi seperti kemenyan,
kapur barus, lada, rotan dan hasil hutan lainnya pada waktu itu menjadi
semakin ramai, sehingga menimbulkan persaingan yang ketat di antara
para pedagang asing yang datang ke daerah tersebut. Pusat-pusat
perdagangan menjadi ajang perebutan. Pada waktu itu, pelabuhan utama
yang menampung hasil-hasil bumi dari daerah Singkil terdapat di tiga
tempat, yaitu : Pertama, di sebelah utara di tarik garis sampai ke
Barat Ujung Bawang, Kedua di sebelah timur dan yang ketiga, di sebelah
barat ke arah selatan dekat jalan Singkil yang terletak depan benteng
Singkil. Kapal-kapal dagang ukuran besar dapat berlabuh di dermaga
dengan kedalaman 5 – 10 vadem.
Kehadiran pedagang-pedagang Inggris dan
Amerika menyebabkan wilayah kekuasaan Belanda menjadi semakin sempit
dan akhirnya tersingkir dari Singkil. Setelah itu maskapai perdagangan
Inggris East Indian Company menjadi semakin kuat kedudukannya di daerah
Singkil. Namun di sisi lain, kesultanan Aceh berusaha merebut kembali
kekuasaannya yang telah hilang di Singkil. Upaya itu dilakukan dengan
cara menghasut penduduk Singkil dan Bengkulu supaya menentang Inggris.
Pada bulan Agustus 1771, Residen Inggris yang bernama Gilles Holoway
bersama Kapten Forrest berangkat ke Aceh dengan kapal Luconia dengan
maksud akan menemui Sultan Aceh untuk membuka perdagangan di kawasan
yang menjadi wilayah kekuasaan Aceh. Di samping itu, Inggris juga
meminta agar kesultanan Aceh tidak mengganggu kegiatan perdagangan
Inggris di kawasan Tapanuli. Namun usaha tersebut dihalang-halangi oleh
orang-orang India Madras yang tergabung dalam Madras Syndicate
Association.
Adanya rintangan dari orang-orang Madras
tersebut, Inggris marah dan memerintahkan kapal perangnya untuk
menghukum mereka. Pengiriman kapal perang tersebut dipimpin langsung
oleh Sir Henry Botham. Setelah orang-orang India Madras tersebut
berhasil dihalau, armada perang Inggris mulai mengincar daerah-daerah
kekuasaan Belanda di sepanjang pantai barat Sumatera. Setapak demi
setapak kedudukan pos-pos Belanda di pesisir barat pulau Sumatera
direbut armada perang Inggris. Tindakan itu dilakukan karena di Eropa
sendiri sedang Inggris sedang berperang dengan Perancis yang dipimpin
oleh Napoleon Bonaparte. Belanda yang telah dikuasai oleh Perancis
dianggapnya sebagai musuh Inggris. Oleh karena itu, kedudukan Belanda
di Sumatera dan Jawa juga terancam oleh serangan Inggris. Setelah
negara-negara di Eropa berdamai pada tahun 1788, pos-pos Belanda yang
dikuasai oleh Inggris diserahkan kembali kepada Belanda.
Pada tahun 1795 di Eropa terjadi Revolusi
Perancis, sehingga Inggris kembali memusuhi Belanda. Armada Perang
Inggris yang dipimpin oleh Edward Cooles menyerang lagi pos-pos Belanda
di sepanjang pantai Barat Sumatera. Mereka bertindak atas nama
Pangeran Orange yang berpihak kepada Inggris. Hal tersebut dilakukan
supaya kekayaan Belanda di Nusantara tidak jatuh ke tangan Perancis.
Pada tanggal 20 Juni 1801 Inggris
mengangkat John Prince sebagai Residen baru untuk daerah Tapanuli dan
Singkil. Ia membeli lada sebanyak 300 ton setiap tahun yang dikumpulkan
dari Susoh dan Singkil. Untuk kelancaran pengapalan lada tersebut,
Inggris mengadakan perjanjian dengan raja-raja Tapanuli Tengah pada
tanggal 11 Maret 1815, yang diberi nama dengan Perjanjian Poncang atau
Batigo badunsanak.
Akhirnya Belanda tahu bahwa kedudukan
Inggris di pesisir barat Sumatera tidak begitu kuat. Hal ini kemudian
dimanfaatkan oleh Belanda untuk merebutnya kembali. Dengan melipat
gandakan armada perangnya Belanda kemudian mengancam kedudukan Inggris
di sepanjang pantai barat Sumatera, termasuk juga di Singkil. Di
samping itu, kehadiran armada Amerika di Sumatera juga mengancam
kedudukan Inggris. Untuk menjamin kepentingan dagang, Inggris melakukan
pendekatan keagamaan. Untuk itu pada tahun 1817, diangkatlah Charles
Halhead yang fasih berbahasa Arab sebagai Residen Inggris yang baru di
Tapanuli. Setelah 5 (lima) tahun memerintah sebagai Residen, ia
meninggal dunia karena sakit.
Selanjutnya kegiatan dagang di sepanjang
pantai barat pulau Sumatera semakin hari semakin ramai. Lebih-lebih
setelah kapal-kapal dagang Perancis dan India juga ikut meramaikan
pelayaran dan perdagangan di kawasan tersebut. Walaupun kapal-kapal
asing dari berbagai negeri hilir mudik di di sepanjang pesisir barat
pulau Sumatera, tetapi para penguasa daerah Singkil lebih memilih
bangsa Amerika untuk menjual hasil buminya karena mereka bersedia
membeli dengan harga mahal. Pada suatu waktu, ada pedagang Amerika yang
melakukan penipuan. Hasil bumi yang telah diserahkan oleh orang
Singkil tidak dibayar. Rakyat marah dan menyita sebuah kapal Amerika
Frienship asal Salem dan membakarnya di Kuala Batu. Kejadian tersebut
kemudian ditanggapi oleh Presiden Amerika Serikat dengan mengirim kapal
perang Potomac pada tahun 1831. Daerah Kuala Batu kemudian diserang
dan dijadikan lautan api.
Pascainsiden tersebut, persaingan
perdagangan di daerah Sumatera semakin ketat. Dari tahun ke tahun
jumlah armada dagang dari berbagai negara semakin meningkat. Sejauh
itu, hanya Inggris dan Belanda yang saling memperebutkan daerah
kekuasaan. Untuk menghindarkan peperangan, kedua negara tersebut
melakukan kesepakatan untuk menandatangani Traktat London. Adapun isi
dari traktat tersebut yaitu Inggris harus menyerahkan kekuasaannya di
daerah-daerah Belanda di Indonesia yang pernah direbutnya dahulu.
Sebagai imbalannya, Belanda harus menyerahkan seluruh Semenanjung Melayu
ke tangan Inggris.
Perjajinan itu sangat memberatkan
Inggris. Menurut anggapannya, daerah Singkil dan Barus merupakan daerah
miliknya yang telah diperolehnya sejak lama dengan susah payah. Jadi
logis kalau Inggris yang menduduki daerah tersebut tidak rela jika
harus menyerahkan begitu saja kepada Belanda. Di sisi lain, penyerahan
pulau Sumatera oleh Inggris kepada Belanda juga sangat menyakitkan
kesultanan Aceh. Mengingat Belanda selalu berusaha menghilangkan
pengaruh Aceh dan menguras kekayaan yang ada.
Untuk memperkuat kedudukannya di daerah-daerah yang terbentang dii sepanjang pantai barat Sumatera, Belanda menempatkan wilayah Tapanuli termasuk Singkil dan Barus ke dalam Residen Sumatera Barat yang berkedudukan di Padang. Setelah VOC dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, seluruh aset kekayaan VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan mulailah zaman baru penjajahan Belanda di Indonesia. Jika dulu dikuasai oleh VOC, kemudian beralih ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda.
Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”Untuk memperkuat kedudukannya di daerah-daerah yang terbentang dii sepanjang pantai barat Sumatera, Belanda menempatkan wilayah Tapanuli termasuk Singkil dan Barus ke dalam Residen Sumatera Barat yang berkedudukan di Padang. Setelah VOC dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, seluruh aset kekayaan VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan mulailah zaman baru penjajahan Belanda di Indonesia. Jika dulu dikuasai oleh VOC, kemudian beralih ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda.
http://acehsingkil.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar