Masyarakat Aceh Singkil terdiri dari
berbagai suku dan budaya, berdasarkan sejarahnya asal etnis yang paling
dominan adalah dari Minang dan Dairi, suku Minang banyak menguasai
dalam bahasa pengantar dagang, sedangkan mayoritas suku Dairi berbahasa
Ulu (mudik), yaitu bahasa Dairi dialek Singkil dan bahasa Minang
dilalek pesisir.
Singkil sebagai bandar dan kota perdagangan tentunya mempunyai daya tarik tersendiri bagi penduduk dari daerah lain sebagai tempat mencari nafkah. Fenomena ini telah menyebabkan penduduk daerah tersebut sangat hiterogen jika ditinjau dari suku bangsa. Pada tahun 1852 jumlah penduduk Kota Singkil sebanyak 2.104 orang yang terdiri dari 6 orang Eropa, 55 orang Cina, 183 orang Arab dan sisanya adalah penduduk setempat dari berbagai kelompok suku bangsa. Memperhatikan data tersebut terlihat bahwa di Kota Singkil dahulu terdapat 2 kelompok suku bangsa dari luar, yaitu Arab dan Cina yang secara turun temurun mempunyai budaya yang cukup kuat dalam berdagang. Kehadiran kedua kelompok suku bangsa tersebut kiranya dapat memperkuat hipotesis yang mengatakan bahwa Singkil memang merupakan kota perdagangan.
Selanjutnya pada tahun 1894 Kota Singkil
didatangi oleh orang-orang Melayu dari Kesultanan Pahang. Mereka adalah
orang-orang Melayu yang melarikan diri karena Kerajaan Pahang diduduki
oleh pasukan Inggris. Di Kota Singkil mereka mempersiapkan diri untuk
berjihad dan mengharap dapat bantuan dari Kerajaan Aceh dalam melawan
agresi pasukan Inggris tersebut. Mereka baru kembali ke Pahang setelah
mendapat himbauan dari para ulama kesultanan supaya mereka melakukan
perjuangan dari dalam negeri.
Tentang agama penduduk pada masa itu,
bahwa umumnya masyarakat Singkil beragama Islam, dan sebagian kecil
memeluk agama Kristen, yang terletak di daerah Simpang Kanan di desa
Kutakerangan. Sesuai dengan keputusan Gubernur Hindia Belanda diberikan
penetapan pada Huria Kristen Batak Protestan tanggal 10 Januari 1935
No. 37 atas permintaan dari ketua Huria untuk diberikan izin mendirikan
sebuah gereja, yang kemudian dinamakan Gereja Zending Batak.
Dalam sebuah laporan W.L. Ritter menyebutkan bahwa penduduk Singkil sekitar 600 orang atau sekitar 150 buah rumah tangga, akan tetapi apabila diperkirakan sampai kepada penduduk yang ada di pedalaman mencapai 10.000 jiwa. Hubungan penduduk Singkil dengan Pak-pak yang belum beragama di pedalaman umumnya berjalan harmonis.
Dalam sebuah laporan W.L. Ritter menyebutkan bahwa penduduk Singkil sekitar 600 orang atau sekitar 150 buah rumah tangga, akan tetapi apabila diperkirakan sampai kepada penduduk yang ada di pedalaman mencapai 10.000 jiwa. Hubungan penduduk Singkil dengan Pak-pak yang belum beragama di pedalaman umumnya berjalan harmonis.
Ritter juga menambahkan bahwa Bangsa
Proto Malayan yang terdesak oleh bangsa Mongolia, mengarungi Lautan
Hindia (Indonesia) menuju ke wilayah Singkil. Sebagian dari mereka itu
memasuki ke arah arus Simpang Kanan terus ke Dairi, sehinga mereka
menjadi marga Dairi. Sebagian daerah itu bercampur dengan suku asli dan
disertai dengan masuk suku Minang. Dari itu muncullah suku Singkil
yang terdiri dari campuran suku pendatang dari suku Minang, Batak,
Nias, Aceh, suku Singkil.
Tentang jumlah penduduk Kota Singkil pada waktu itu tidak disebutkan dalam laporan penyelidikan Belanda ketika akan menyerbu Aceh pada abad ke-19. Belanda hanya menyebutkan bahwa Tapaktuan adalah sebenarnya pemukiman dari orang Pasaman di wilayah gunung opir, dan merupakan pelabuhan utama untuk ekspor lada karena tidak saja ditanam di sekitarnya, tetapi juga di tempat-tempat lebih ke selatan seperti Asahan, Terbangan, Sinabu dan Bakongan.
Tentang jumlah penduduk Kota Singkil pada waktu itu tidak disebutkan dalam laporan penyelidikan Belanda ketika akan menyerbu Aceh pada abad ke-19. Belanda hanya menyebutkan bahwa Tapaktuan adalah sebenarnya pemukiman dari orang Pasaman di wilayah gunung opir, dan merupakan pelabuhan utama untuk ekspor lada karena tidak saja ditanam di sekitarnya, tetapi juga di tempat-tempat lebih ke selatan seperti Asahan, Terbangan, Sinabu dan Bakongan.
Seorang penduduk dari XXV Mukim Aceh
Besar dengan pengikutnya pindah ke Susoh (Aceh Selatan), lalu menjadi
kepala kampung di Susoh. Dua orang keturunannya, yang pertama bernama
Bassa Bujang (Bujang Bapa) pindah ke Trumon, dan yang kedua bernama
Lebai Dapha (Haji Dafna) pindah ke Singkil, dan berhasil mengembangkan
pertanian lada di Singkil. Penguasa daerah Singkil pada waktu itu
menaruh simpati kepada Haji Dafna dan menikahkan anak putrinya dengan
Lebai Dapha (Haji Dafna), bahkan menyerahkan pimpinan kenegerian
tersebut kepada Lebai Dapha. Bassa Bujang yang kurang berhasil di
Trumon mengundang adiknya (Haji Dafna), supaya pindah ke Trumon.
Permintaan itu dituruti oleh Lebai Dapha tanpa melepaskan kedudukannya
di Singkil. Kedua daerah itu kemudian berkembang dengan pertanian lada.
Hasil pertanian tersebut dapat
meningkatkan pendapatan mereka yang memimpin kenegerian itu. Lebai
Dapha kemudian meninggal dan meninggalkan 17 orang putri dan 10 orang
putri. Putranya yang laki-laki bernama Raja Bujang menggantikannya
menjadi raja di Trumon dan putranya yang kedua bernama Muhammad Arif
memerintah di Singkil.
Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”http://acehsingkil.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar