a

PENGUMUMAN ►►DAFTAR NAMA-NAMA SISWA YANG LULUS UJIAN SEMESTER MATA PELAJARAN MATEMATIKA. NILAI AKHIR KELAS IX : NABILA ARIFA ZAHRA 100, MUHAMMAD YUMASHURI 90, DAYU ISRAKY NASUTION 90, SAID SADAM FIRDAUS 90, FARIS AL-KAUSAR 85, RAFI IRAWAN 75 *********** NILAI AKHIR KELAS VIII : NADIA FITRIANDA MUZNI 82,5 NOVIA SARI 65 *********** NILAI AKHIR KELAS VII : SUTRIA BUNGA MAULIDA 70, MUHD. GHAZY AL-ZUHDI SYAHRA 65 :!!!

Selasa, 29 Mei 2012

Memahami 'Kasta' Ureung Aceh

Memahami 'Kasta' Ureung Aceh - Serambi Indonesia

Oleh Ahmad Arif

SIAPA pun yang ingin mencermati sejarah Aceh, maka yang pertama harus dilakukan adalah memahami kehidupan sosial dan kultural masyarakatnya. Dari berbagai referensi sejarah akan didapati kesan yang kuat bahwa dalam masyarakat tradisional Aceh terdapat tiga “kasta” (kelas sosial) yang menentukan gerak dan arah perubahan, serta mempengaruhi konfigurasi sosial politik di Aceh.

Kasta pertama adalah kelas bangsawan yang diwakili oleh sultan dan keturunannya. Kerajaan Aceh bermula pada awal abad ke-16, saat Kerajaan Pase pindah ke lembah Krueng Aceh (sekarang kota Banda Aceh) pada 1507. Dalam daftar keturunan raja-raja Aceh, penguasa pertama dinasti Mahkota Alam I adalah Ali Mughayat Syah (1496-1528). Sedangkan asal usul kesultanan Aceh sendiri masih sulit untuk digali dan dalam banyak hal cenderung bernuansa mitologis.

Para pakar sejarah Indonesia bersepakat, seperti yang dijelaskan oleh Johannes EG (2008:76-78) bahwa yang bertahan paling lama dan sekaligus yang terbesar dalam sejarah kerajaan Islam di Indonesia adalah kesultanan Aceh.

 Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh menjadi besar dan terkenal disebabkan dua hal: Pertama, secara geografis merupakan wilayah yang sangat strategis sebagai rule the waves (lintas perdagangan) antardaerah dan antarnegara, menjadikan kesultanan Aceh kaya dan berkuasa, dan; Kedua, kesultanan Aceh mencapai puncak keemasannya tatkala Iskandar Muda menjadi sultan Aceh (1607-1636).

Dibandingkan dengan masa kekuasaan sultan lainnya, masa pemerintahan Iskandar Muda memang relatif singkat. Namun, meninggalkan kebesaran dalam sejarah Aceh, karena tiga faktor utama: Pertama, kesultanan Aceh pada masa-masa sebelumnya sangat rapuh dan lemah. Bahkan, sebagiannya dikendalikan oleh para uleebalang. Namun, setelah naik tahta, Sultan Iskandar Muda membangun kota, istana dan pelabuhan sehingga kota Bandar Atjeh Dar-es-Salam berkembang menjadi kota dagang regional dan internasional;

Kedua, menjadikan Aceh sebagai pusat studi dan kajian agama Islam, termasuk penyebarannya ke berbagai wilayah melalui jalur perdagangan. Dibangunnya Masjid Baiturrahman pada 1614 merupakan lambang dari kejayaan tersebut, dan; Ketiga, menjadikan Islam sebagai kerangka dasar dari hukum di atas identitas suku, ras, golongan dan sultan menjadi pelindungnya.

 Pemangku adat
Kasta kedua adalah golongan uleebalang yang berasal dari rakyat biasa, namun kemudian karena kiprahnya “naik kelas” menjadi kelas menengah, atau disebut juga pseudo-aristokrat dalam masyarakat. Kelompok ini pada awalnya tumbuh, berkembang dan berperan di bidang pemerintahan sebagai pemangku adat dan pengusaha. Mereka, tidak berbeda dengan rakyat biasa.

Selain kaya, para uleebalang juga berkuasa. Karena kedekatan mereka dengan sultan, mereka diberikan sarakata, surat paten atau hak dari sultan untuk menguasai dan mengelola lahan di sekitar desa. Mereka sadar bahwa roda ekonomi (perdagangan) yang tidak diawasi akan berbahaya. Oleh karena itu, kekayaan (uang) diperlukan demi menjaga kebebasan gerak mereka. Pola pikir seperti ini sangat taktis dan strategis baik dari perspektif ekonomi maupun sosial-politis.

Mereka menguasai, membiayai dan mempengaruhi antara lain para syahbandar peukan (pejabat pasar) dan hariah (wakilnya); kerani (juru tulis) yang pandai menulis Arab; banta (wakil uleebalang) yang biasanya adalah saudara mereka; kadhi (hakim); imeum (kepala mukim) dan pasukan keamanan yang dipimpin oleh lakseumana (panglima perang).

Inilah yang kemudian membuat hubungan antara mereka dengan petani atau masyarakat pedesaan tidak begitu harmonis. Hanya sebatas hal-hal yang terkait dengan transaksi komoditas.

 Kaum ulama
Kasta ketiga ulama, guru atau ahli agama Islam, muncul dan berkembang pesat pada abad ke-19. Mereka mendirikan dayah (pesantren) di daerah pedesaan. Uniknya, mereka sendiri tidak lahir dan dibesarkan di sana. Mereka dari kota-kota pelabuhan milik sultan.

Pesantren yang mereka bangun terpisah dari desa. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka menyewa lahan pertanian milik orang desa sekitar. Kadangkala mereka peroleh sebagai pemberian dari orang kaya di desa tersebut.

Tak jarang pula uleebalang membantu mereka dalam pengadaan tanah atau hal lain yang mereka perlukan. Inilah awal dari kemandirian mereka di bidang sosial dan ekonomi. Lama kelamaan, mereka tidak bergantung lagi dari penduduk desa maupun uleebalang. Bahkan, secara kultural mereka terpisah dari keduanya.

Tumbuh dan berkembangnya kelompok ini kemudian menjadi mesin penggerak reformasi Islam di Aceh. Gerakan reformasi ini lambat memang, namun pasti bergulir ke semua arah dan menjadi saingan bagi kewibawaan tradisional. Aceh semakin dikenal dengan kehadiran, misalnya, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Hamzah Fanshuri atau Teungku Ustaman al-Muhammady pada 1940-an sebagai reformis di Aceh.

Membangun nanggroe dengan memahami “roh zaman” melalui proses damai, saling mengisi dan melengkapi, inilah yang menjadikan pemahaman dan pengamalan Islam yang kaffah. Diharapkan visi teologis seperti ini membawa masyarakat Aceh memasuki era modern dengan tetap menjaga identitas dan entitasnya.

Banyak negara (daerah) “tidak berkembang” (underdeveloped), dan tidak pernah beranjak dari status itu karena ketidakmampuannya menghubungkan masa lalu dengan masa kini secara proporsional. Nanggroe ini dibentuk dan dibesarkan oleh beragam suku, ras dan budaya serta agama. Heterogenitas itu selalu membawa kemajuan dan pembaruan serta penyegaran dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara homogenitas dan isolasi hanya membawa ke arah sebaliknya.

Oleh berbagai kesamaan kepentingan dan atau perbedaannya, ketiga kasta tersebut masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam sejarah Aceh. Bahkan, terkadang terjadi konflik atau pertentangan berkepanjangan. Kemampuan untuk mensinergikan ketiga kasta itu akan menentukan masa depan dalam membangun nanggroe yang baru, damai, adil dan bermartabat.

* Ahmad Arif, Mantan Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta.

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar